Rabu, 23 Juli 2008

CIRI-CIRI ORANG MINANG

Pertama. dimana dia tidur semasa kecil?
Jawaban benarnya adalah tidur di patandangan.

Patandangan adalah sebuah rumah yang ditinggalkan pemiliknya. atau rumah yang serupa dengan itu atau bisa jadi surau atau langgar atau mushala. Di patandangan itulah setiap anak minang yang sudah pandai bermain, tidur. Dia baru pulang ke rumah nya di pagi hari. dia tidak tidur di rumah amak nya, apalgai jika di rumah itu ada saudara perempuannya. adalah tabu bagi mereka tidur di rumah. Di patandangan mereka akan belajar interaksi antar sesama kawannya. Di situ juga dianya akan belajar mengaji Al Qur'an dan sekaligus belajar Silat.
Jika patandangannya bukan surau atau langgar atau mushala, maka, dia hanya belajar interaksi saja di patandangan. Untuk silat dia akan belajar di sasaran (tempat yang dikhususkan untuk belajar silat). dan belajar mengaji di surau atau di masjid atau juga di rumah guru mengaji. Belajar silat sendiri juga bisa di lakukan di rumah guru.
Jika dia tidak tidur di patandangan, apakah itu rumah yang ditinggalkan pemiliknya atau disurau, dilanggar ataupun mushala. Atau dengan kata lain, jika dia tidur dirumah amaknya. Maka dia tidak akan mendapatkan nilai-nilai yang hanya didapat dari patandangan.
Dari keterangan tentang patandangan tadi, telah terjabarkan makna mengaji dan belajar silat.

Kedua, sejak kapan dia di Minang? Lebih tepatnya, berapa lama dia diminang dan sampai pada masa usia berapa?
Jawaban tepatnya adalah sejak lahir sampai usia baliq.

Orang lahir dan besar di minang, otomatis akan mendapatkan kesempatan yang di dapatkan dari pembahasan tentang patandangan tadi.
Jika dianya sudah meninggalkan minang sebelum usia baliq, otomatis dia tidak mendapatkan nilai-nilai dari setiap “session” itu.
Nilai tambahan yang didapatkan dari lahir dan besar di minang adalah lapau. Di lapau atau kedai atau gerai. Orang minang berkumpul sepulang dari kerja di siang hari. Disini ilmu dan pengalaman di tebarkan oleh orang tua-tua. Kita yang muda tinggal mengambil hikmat dari setiap pengalamanan mereka.
Disini kita juga di ajarkan tentang teknik komunikasi. (retorika). Di minang ada 4 teknik komunikasi, yakni ; 1) kato mandaki, adalah kata-kata yang dipakaikan kepada orang yang sudah tua dari kita atau orang-orang yang kita hormati. Kata ini mengandung nilai-nilai penghormatan dan kesantunan. 2) kato mandata, adalah kata-kata senda gurau, yang dipakaikan untuk sesama teman sebaya. Atau orang yang sudah akrab sekali dengan kita. Kata ini mengandung nilai romantika anak muda. Kata yang penuh keceriaan, seolah dunia ini hanyalah permainan kehidupan yang tidak perlu disedihkan. 3) kato manurun, adalah kata-kata yang digunakan kepada orang-orang yang usianya masih dibawah kita.
Ciri lain adalah kadai. dima kadai tampek duduak nyo. Kata ini mengandung nilai kasih sayang dan pengasuhan yang bijak. 4) kato malereng, adalah kata-kata yang digunakan kepada seseorang dengan tidak langsung memakaikan kata seharusnya. Misalnya. Minta toloang pada menantu, “Astagfirullah, sia lo lah nan ka diminta toloang ko yo.” (siapa pula lah yang bisa dimintai pertolongannya, ya). Padahal semasa itu yang ada hanya mertua nan menantu. Disini jelas bahwa sebenarnya mertua itu mau minta toloang pada menantunya. Tapi tidak langsung menggunakan kata “minta tolong”. Kata ini mengandung nilai bahwa kebenaran tak semesti “di sampaikan” pada kondisi tertentu. “ingat pepatah, bapikia-pikie ka mangicek, tapi jan kicek an apo nan tapikie” (berpikir dulu sebelum bicara, tapi jangan bicarakan langsung apa yang dipikirkan).
Dalam bergurau, tidaklah segampang yang dibayangkan. Kadang menurut kita, kita mengunakan kata-kata guarauan pada seseorang, tapi bagi orang yang digurau kan, kerana waktu dan tempat yang tidak tepat, gurauan kita bisa salah tertafsirkan.
Terkadang hal ini bisa menjadi pemicu terjadinya suatu masalah.
Nilai-nilai ini hanya ada di lapau urang minang. Dan banyak lagi nilai-nilai lain yang di dapatkan di lapau itu.

Ketiga, tambo apa yang dia baca?
Jawaban tepatnya adalah tambo nagari … (tempat dia lahir (minimal)).

Tambo adalah kisah atau legenda atau babat yang berisikan cerita tentang keadaan masa lalu serta asal muasal suatu nagari. Tambo di minang di tulis dalam tulisan arab melayu. Ada yang dengan tinta warna emas, ada juga dengan tinta biasa (hitam). Dengan menggunakan metode pantun, ibarat atau pepatah-petitih.
Di minangkabau, tambo selalu di lanjutkan dengan kata-kata ‘adat alam, …..”. Tambo adat alam ini, tidak ada yang berjudul tambo adat alam minangkabau, kalau pun ada judul seperti itu, mungkin tambo itu berisikan kumpulan tambo beberapa nagari atau malah merupaka ringkasan (resume) dari beberapa tambo nagari. Kerana yang ada hanya tambo nagari. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya adat minangkabau. Yang ada hanyalah “adat salaingka nagari”(adat sekitar nagari). Adat di nagari nagari A tidak sama atau berbeda dengan adat di nagari B. Contoh judul tambo, tambo adat alam nagari Batipuah, tambo adat alam nagari Salimpauang dan lain-lain.

Sisi lain dan merupakan hal khusus, yang hanya berlaku pada orang-orang tertentu di minang, yakni belajar pasambahan.
Pasambahan merupakan tuturan adat dalam metode pantun atau ibarat. Pasambahan ini memiliki kelompok-kelompok khusus, seperti pasambahan ka makan, pasambahan manjapuik marapulai, dan lain-lain.
Bagi mereka yang bisa pasambahan cedrung memilki ketajaman dalam pemahaman dalam diskusi. Dia terbiasa bermain ujung kata. Ujung kata adalah maksud sesunggguhnya dari setiap kata.
Sebagaimana kita tahu, dalam menulis sebuah prosa. Ada dalam satu paragraf, terdiri dari kalimat pembuka, kalimat inti dan kalimat penutup, serta kalimat pelengkap. Maka orang yang bisa pasambahan cendrung dapat memahami dengan cepat kalimat inti dari setiap kalimat-kalimat orang lain.

Untuk sementara ini dulu yang dapat saya sampaikan, lain waktu disambung lagi.

7 komentar:

Unknown mengatakan...

Apo sabab orang tua di minang sekarang tidak menganjurkan anak lelakinya tidur di palanta malahan ada yang melarangnya.
Mengapa tidur di rumah orang tuanya bagi anak laki-laki di minang bukan lagi suatu yang memalukan?

Unknown mengatakan...

Koreksi: maksud saya tidur di patandangan.

Indra Wita mengatakan...

Perkembangan zaman, memberikan pengaruh yang tidak positif saja. Perkembangan itu juga memberikan efek negatif. salah satu efek negatif itu adalah, timbulnyo "asumsi negatif" di mata orang tua saat ini tentang tidur di Patandangan. Dimana asumsi negatif yang timbul itu adalah, dengan tidur di patandangan, orang tua berasumsi "Anak nya tidak menjadi sebagaimana yang dia inginkan. tapi jadi dengan sendirinya, kemudian anaknya akan menyerap juga karakter-karakter negatif sebagai akibat dari pergaulan yang tidak jelas (bercampur dari berbagai lapisan)." Dan ada beberapa alasan lainnya.

Akan tetapi, jika mereka mencermati dengan seksama, sesungguhnya, anaknya itu tidak akan mendapatkan pendidikan yang lengkap bila hanya mereka saja yang mendidik. Bahkan dengan tidur di Patandangan, dan anak nya berkeliaran di kampung menjelang tidur, hal itu akan memberi peluang anaknya mendapatkan pendidikan dari setiap orang yang dia jumpai.

Unknown mengatakan...

setuju sekali..

anak anak minang sekarang harus kembali ke SURAU.
mari kita hidupkan kembali tradisi tersebut. untuk sanak sanak di kampuang ayo kita bankitkan kembali tradisi ini.

Unknown mengatakan...

kalau di sini anak anak masih suka tidur d masjid.tpi sayang nya gk ada yg membimbing,malah di usir oleh penjaga masjid,,,,

Indra Wita mengatakan...

Saudara @Labai Nur ...

Idenya yang kita ambil, yakni nilai-nilai yang dikembangkan di SURAU.
Apakah akan kembali ke SURAU secara ril atau tidak, secara prinsip itu bukanlah persoalan.


Indra Wita mengatakan...

Saudara @Irfan Pratama.

Untuk ini perlu adanya mediator yang mampu menjembatani antara efek positif tidur di Surau (Masjid) dalam pengembangan karakter dengan tetap terjaganya kerapian dan kebersihan di dalam masjid.
Bahkan kalau mungkin, diperlukan adanyo proses pembimbingan.